Selasa, 14 Januari 2014

TIGA PESAN MORAL KEPEMIMPINAN RASULULLAH SAW

                Sejak penghujung abad yang lalu hingga sekarang, diskursus mengenai pemimpin atau kepemimpinan mencuat ke permukaan. Ada dua penyebabnya. Pertama, banyak pemimpin dalam berbagai bidang terlibat pelanggaran moral. Kedua, mungkin karena usianya yang makin menua, dunia kita sekarang tak kuasa lagi melahirkan pemimpin-pemimpin besar (great leader) seperti pada masa-masa terdahulu.
                Kenyataan ini dikeluhkan oleh Jeremie Kubicek (2011) dalam bukunya yang kontroversial, “Leadership is Dead: How Influence is Riviving it” (kepemimpinan telah mati: bagaimana pengaruh yang merupakan inti kepemimpinan bisa dihidupkan kembali). Dikatakan, pemimpin sekarang lebih banyak menuntut (getting), bukan memberi (giving), menikmati (senang-senang), bukan melayani (susah-payah), dan banyak mengumbar janji, bukan memberi bukti.
                Dalam fikih politik Islam, moral yang menjadi dasar kebijakan dan tindakan pemimpin adalah kemaslahatan bangsa. Dikatakan tasharruf al-imam `ala al-ra`iyyah manuthun bi al-mashlahah (tindakan pemimpin atas rakyat terikat oleh kepentingan atau kemaslahatan umum). Jadi, pemimpin wajib bertindak tegas demi kebaikan bangsa, bukan kebaikan diri dan kelompoknya semata.
                Kaidah ini diturunkan dari moral kepemimpinan Nabi SAW seperti disebutkan dalam Alquran. Firman Allah, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS al-Taubah [9]: 128).
                Ada tiga sifat (moral) kepemimpinan Nabi SAW berdasarkaan ayat di atas;
                Pertama, azizun alaihi ma anittum (berat dirasakan oleh Nabi penderitan orang lain). Dalam bahasa modern, sifat ini disebut sense of crisis, yaitu kepekaan atas kesulitan rakyat yang ditunjukkan dengan kemampuan berempati dan simpati kepada pihak-pihak yang kurang beruntung.
                Secara kejiwaan, empati berarti kemampuan memahami dan merasakan kesulitan orang lain. Empati dengan sendirinya mendorong simpati, yaitu dukungan, baik moral maupun material, untuk mengurangi derita orang yang mengalami kesulitan.
                Kedua, harishun `alaikum (amat sangat berkeinginan agar orang lain aman dan sentosa). Dalam bahasa modern, sifat ini dinamakan sense of achievement, yaitu semangat yang mengebu-gebu agar masyarakat dan bangsa meraih kemajuan. Tugas pemimpin, antara lain, memang menumbuhkan harapan dan membuat peta jalan politik menuju cita-cita dan harapan itu.
                Ketiga, raufun rahim (pengasih dan penyayang). Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Nabi Muhammad SAW adalah juga pengasih dan penyayang. Orang-orang beriman wajib meneruskan kasih sayang Allah dan Rasul itu dengan mencintai dan mengasihi umat manusia. Kasih sayang (rahmah) adalah pangkal kebaikan. Tanpa kasih sayang, sulit dibayangkan seseorang bisa berbuat baik. Kata Nabi, “Orang yang tak memiliki kasih sayang, tak bisa diharap kebaikan darinya.”
                Bagi ulama besar dunia, Rasyid Ridha, tiga moral ini wajib hukumnya bagi pemimpin. Karena, tanpa ketiga moral ini, seorang pemimpin, demikian Ridha, bisa dipastikan ia tidak bekerja untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan diri, keluarga, dan kelompoknya saja.
Maka, betapa pentingnya moral pemimpin.
Wallahu a`lam!

2 komentar:

  1. Baiklah disini saya akan menanggapi atas pernyataan diatas menurut saya artikel ini sangatlah berguna karna dengan membaca artikel ini menjelaskan bahwa apabila ingin menjadi seorang pemimpin haruslah mempunyai moral. dimana di artikel diatas adapun 3 moral/sifat kepemimpinan dari Nabi SAW:
    1.berat dirasakan oleh nabi penderitaan orang lain
    2.amat sangat berkeinginan agar orang lain aman dan sentosa
    3.pengasih dan penyayang.
    dari ketiga moral tersebut mengajarkan bahwa kita harus menjadi pemimpin yang baik bagi diri kita sendiri maupun orang lain , jangan kita menjadi pemimpin yang hanya mementingkan diri sendiri dan menyengsaraka orang lain.
    adapun yang ingin saya tanyakan sedikit bi kenapa banyak pemimpin sekarang yang melanggar sumpahnya terhadap Al-Qur'an?dan apa ganjaran yang akan pemimpin itu terima setelah ia mengingkari sumpahnya tersebut?
    sekian dan terima kasih.

    BalasHapus
  2. Benar2 bermanfaat,
    Bagaimana dengan pemimpin yang menerapkan ketidak adilan dalam kepemimpinannya?

    BalasHapus